Positif-Negatifnya Pemberlakuan Wajib Militer di Indonesia

Polemik tentang Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan kembali mencuat. Kalau RUU ini jadi diundangkan, maka efek yang paling bisa dirasakan oleh rakyat Indonesia adalah diberlakukannya wajib militer.

Saya merasa beruntung sebelum adanya RUU ini pernah merasakan pendidikan dasar militer selama akumulatif 5 (lima) minggu yang terbagi dalam 2 sesi, masing-masing 2 (dua) dan 3 (tiga) minggu. Maka, saya merasa perlu beropini atas polemik ini. Tentunya sesuai dengan apa yang pernah saya alami dan yang saya amati. Bahwa pemberlakuan wajib militer di Indonesia memiliki sisi positif dan negatif.

Sisi Positif

1. Indonesia akan memiliki warga negara yang siap tempur. Siap tempur saya terjemahkan ke dalam 2 hal, yaitu tempur dalam artian mengangkat senjata dan tempur dalam artian menghadapi tantangan hidup. Dengan mendapatkan pelatihan dan pendidikan militer maka warga negara Indonesia paling tidak akan memahami ilmu-ilmu dasar dalam bertempur, berperang, berkonfrontasi dengan kekuatan militer pihak (negara, gerakan separatis, teroris, pembajak, dll) lain. Setidaknya seorang warga negara tahu caranya menembakan senjata api. Masalah tepat tidaknya mengenai sasaran itu masalah pengalaman dan kebiasaan. Keuntungan yang didapat adalah negara tidak lagi terlalu takut dan parno ketika harus menghadapi serangan-serangan militer dari pihak lawan. Pengambilan keputusan untuk bereaksi atas serangan bersenjata terhadap keamanan negara tidak lagi tersendat-sendat karena terlalu bimbang memperhitungkan kekuatan militer yang dimiliki oleh negara.

Selain siap tempur menghadapi kemungkinan serangan berbasis militer, warga negara juga akan terlatih dan terdidik menghadapi kerasnya hidup. Bahwa hidup tidak selamanya mudah. Bahwa hidup tidak selamanya di atas. Bahwa tidak boleh ada kata putus asa ketika hidup dipenuhi permasalahan. Setidaknya pengalaman saya mengatakan seperti itu. Ketika harus tidur beralaskan tanah atau di atas pohon, ketika selama 3 minggu hanya makan mi instan dicampur nasi yang sama sekali tidak matang, ketika harus minum air sungai bekas orang memandikan kerbaunya karena jatah air dibatasi, ketika keadaan tidak memungkinkan untuk mandi selama seminggu penuh, ketika hanya ada satu baju yang melekat di badan, ketika harus berjalan selama 24 jam penuh menempuh jarak berpuluh-puluh kilo dengan logistik yang terbatas, dan ketika-ketika lain. Semua perlakuan yang menekan manusia sampai batas kemanusiannya ini akan mengajarkan dan melatih seseorang untuk siap tempur ketika menghadapi masalah-masalah hidup dan menghargai segala hal sekecil apapun yang dimilikinya selama hidupnya.

2. Indonesia akan kembali menjadi Macan Asia. Dengan memiliki warga negara yang siap tempur maka kewibawaan Indonesia yang dulu sempat menjadi mercusuar bagi negara-negara Asia-Afrika akan kembali terangkat. Setidaknya mereka akan berpikir sekian kali ketika akan membuat masalah dengan Indonesia. Paling tidak Malaysia akan berpikir dua kali ketika akan mengklaim Reog Ponorogo, merebut Blok Ambalat, membuat plesetan lagu Indonesia Raya atau memindahkan patok-patok perbatasan di Borneo sana. Minimal mereka akan berkali-kali memperihitungkan resikonya apabila terjadi kemungkinan konfrontasi militer dengan Indonesia. Bukankah kita semua rindu penghormatan itu? Yang dulu telah susah payah dibangun oleh Presiden Soekarno sebagai negarawan dan Panglima Besar Jenderal Sudirman sebagai seorang militer tulen.

3. Mengurangi manusia Indonesia yang manja dan tidak tahan banting. Manusia Indonesia saat ini telah diperbudak oleh kemudahan, oleh hal-hal instan yang menjadikan mereka tidak tahan banting dan bersifat manja, terutama anak-anak mudanya. Saat bayi dimanja, saat SD diantar-jemput pakai mobil dan dibekali gadget-gadget canggih. SMP difasilitasi sepeda motor supaya tidak capek jalan ke sekolah. SMA dibelikan mobil supaya tidak kepanasan di jalan. Mahasiswa waktu diospek saja nangis, lapor Komnas HAM, padahal cuma digertak sekali itupun karena yang bersangkutan terlambat datang. Setelah wisuda sarjana diberikan pekerjaan secara cuma-cuma baik di perusahaan orang tuanya, keluarga, ataupun koleganya. Kalaupun mencari maunya yang instan, pakai “amplop” atau memanfaatkan jabatan orang dekat. Mau makan ke restoran fastfood atau delivery service, baju kotor dibawa ke binatu, tugas makalah cuma salin-tempel dari google, sampai-sampai mau kurus saja bukannya olahraga tapi pakai sedot lemak, pil pelangsing, teh galian singset, atau salep pembakar lemak.

Kemanjaan-kemanjaan ini sedikit demi sedikit akan berkurang kalau manusia Indonesia merasakan bagaimana kerasnya pendidikan militer. Lihat saja, mana ada tentara yang manja? Mana ada tentara yang menangis gara-gara kecapekan atau kepanasan? Itu karena selama bertahun-tahun mereka dilatih sedemikian rupa untuk menghilangkan sifat manja.

4. Mendidik dan mengembangkan pemuda-pemudi Indonesia yang memiliki sifat dan sikap disiplin, cinta dan bangga akan negaranya, peduli sesamanya (berjiwa korsa /tidak apatis), menghormati orang lain terutama yang lebih tua, bersahaja dan tidak hedonis, serta sifat dan sikap baik lain yang saat ini sangat perlu ditanamkan pada pemuda-pemudi Indonesia.

 

Sisi Negatif

1. Secara psikologis dan sosiologis bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka berperang, mencintai kekerasan dibalik keramahannya. Ini dibuktikan dengan pasti adanya tari perang di setiap suku di Indonesia dan beragamnya senjata-senjata tradisional di hampir semua kebudayaan lokal di Indonesia. Juga masih banyak ditemukannya peristiwa-peristiwa bentrokan di berbagai daerah dengan berbagai latar belakangnya. Bahkan siswa yang katanya sudah maha saja lebih senang baku hantam daripada diskusi keilmuan. Dengan kondisi seperti ini rasanya tidak mustahil bila nantinya latihan militer yang didapat justru digunakan sebagai ajang unjuk kekuatan. Merasa hebat karena pernah dididik militer lalu segala sesuatu diselesaikan dengan kekuatan fisik.

2. Pembengkakan anggaran untuk sektor pertahanan dan keamanan. Pendidikan dan latihan militer selama beberapa bulan saja menghabiskan biaya yang besar, apalagi jika dilaksanakan sepanjang 24 bulan seperti di Korea Selatan, pasti akan terjadi pembengkakan anggaran. Belum lagi celah korupsi yang dapat dimanfaatkan dalam pelaksanaannya. Mark up pengadaan seragam, suap dari anak-anak manja yang tidak mau ikut wajib militer, dan celah-celah lain.

3. Kekhawatiran akan adanya angkatan kesekian setelah TNI AD, AL, dan AU. Dulu sekitar tahun ’60-an pernah muncul wacana dari PKI tentang pembentukan Angkatan Kelima (setelah AD, AL, AU, dan Polisi), yaitu mempersenjatai buruh dan petani. Wacana ini ditentang keras oleh pihak militer. Nah, dengan banyaknya partai politik, organisasi masyarakat, LSM, organisasi keagamaan, dan organisasi-organisasi lain di Indonesia sekarang ini, dikhawatirkan anggota organisasi yang telah mengecap wajib militer akan menggunakan kepandaiannya untuk membentuk sayap militer bagi masing-masing organisasinya. Bisa dibayangkan bila separuh saja organisasi di Indonesia memiliki sayap militer, tidak mustahil mereka akan menggunakannya untuk mendukung tindakan atau kebjakan organisasi. Yang ada Indonesia akan makin terpecah belah. Dan bila salah satu partai politik saja memiliki sayap militer macam Waffen SS dalam tubuh Nazi, maka ini juga akan sangat berbahaya.

Saya rasa itu yang menjadi pandangan saya tentang pro-kontra pemberlakuan wajib militer di Indonesia. Bukan ingin menentang ataupun mendukung mentah-mentah. Toh, ada atau tidak wajib militer nantinya, nama saya sudah terlanjur tercatat pernah mengikuti pendidikan dan latihan dasar militer. Jadi, sewaktu-waktu negara membutuhkan mau-tidak mau saya harus siap. Semoga saat negara membutuhkan saya tidak sedang dalam keadaan kentang (kena tanggung), sedang pakai sabun ketika mandi misalnya.

sumber : kompasiana.com

Tentang iqbalpratomo

laki-laki
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar